Bangun Spirit Al-Ma’un Melalui Tradisi Bagi Ta’jil

Ramadhan merupakan bulan yang ditunggu - tunggu oleh umat Islam. Karena pada bulan Ramadhan banyak kebaikan dan juga limpahan rahmat dari Allah turun, sehingga umat muslim berlomba-lomba untuk beribadah dengan khusyuk. Disamping menantikan keberkahan tersebut, umat muslim terutama di Indonesia, juga menantikan momen-momen spesial yang hanya ada di bulan Ramadhan yaitu salah satunya adalah berburu takjil.

Takjil sudah menjadi sesuatu hal yang melekat ketika datangnya bulan Ramadhan. Sore hari merupakan ajang untuk berlomba mencari menu hidangan berbuka puasa atau takjil. Bahkan, biasanya banyak orang-orang yang membagikan menu takjil di masjid-masjid atau di pinggir jalan secara gratis.

Makna ta’jil

Takjil sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu ajjala-yu’ajjilu-ta’jilan, yang mempunyai arti momentum, tergesa-gesa, menyegerakan atau mempercepat. Dalam KBBI Takjil berarti mempercepat dalam berbuka puasa. Maka dapat diambil kesimpulan bahwa takjil merupakan tradisi yang menandai untuk menyegerakan berbuka puasa. Sesuai sabda Nabi Muhammad SAW:

Dari Sahl bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan waktu berbuka.” (Muttafaqun ‘alaih).

Namun, budaya takjil yang cukup populer hampir di seluruh wilayah Indonesia, nyatanya dulu merupakan budaya kurang populer yang hanya bersifat ke daerahan saja.

Makna Ta’jil bagi Muhammadiyah

Diambil dari Muhammadiyah.or.id mengutip buku Kiai Ahmad Dahlan - Jejak Pembaruan Sosial dan Kemanusiaan ditulis oleh Professor Munir Mulkhan bahwa Muhammadiyah memiliki peran dalam mempopulerkan beberapa tradisi di bulan Ramadhan salah satunya adalah Takjil.

Tidak mudah Kiai Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam mempopulerkan tradisi takjil. Banyak yang memperolok tradisi ini dengan mengatakan bahwa orang Muhammadiyah tidak tahan lapar.

Melihat sejarah singkat kebelakang, sejarah takjil sendiri bermula sebagai suatu gerakan tajdid, yaitu strategi dakwah yang mempunya tujuan untuk menarik minat jamaah datang ke masjid guna menghidupkan suasana Ramadhan. Tradisi takjil ini mulanya juga sebagai bentuk sedekah Sri Sultan Hamengku Buwono VIII kepada masyarakat duafa berupa pemberian makanan yaitu gulai kambing.

Muhammadiyah memandang bahwa tradisi takjil merupakan bagian dari spirit Al-Ma’un yaitu menyantuni kaum duafa disamping juga terdapat hadist anjuran memberikan makan bagi orang yang sedang berpuasa.

Ta’jil dan spirit bersedekah

Muhammadiyah juga menggunakan pembagian takjil sebagai alat untuk mengedepankan nilai kemanusiaan, yaitu mengarahkan pembagian takjil kepada orang-orang yang membutuhkan, termasuk masyarakat kurang mampu, pengemis, dan anak-anak jalanan. Tindakan ini mencerminkan ajaran Islam tentang pentingnya membantu orang lain, terutama yang membutuhkan, serta memperluas cakrawala empati dan kasih sayang terhadap sesama.

Melalui tradisi takjil, Muhammadiyah mengajarkan untuk menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya berbagi, kepedulian terhadap sesama, dan ketekunan dalam ibadah. Hal ini memberikan menciptakan kesempatan untuk memperkuat solidaritas sosial.

Melalui upaya-upaya seperti ini, Muhammadiyah memperkuat nilai-nilai Islam yang inklusif dan kemanusiaan yang universal. Dengan menggabungkan aspek keagamaan dan kemanusiaan dalam praktik tradisi pembagian takjil, Muhammadiyah berhasil menjangkau dan memengaruhi banyak orang dengan pesan-pesan yang bersifat mendalam dan relevan dengan kehidupan sehari-hari. 

Sebagai hasilnya, pembagian takjil tidak hanya menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan jasmani, tetapi juga sebagai media untuk memperkokoh dan memperluas pemahaman akan nilai-nilai keislaman dan kemanusiaan dalam masyarakat secara luas.

Ditulis oleh Farikh/Kader Pemuda Muhammadiyah Ranting Tasikmadu/Watulimo