kitapemuda.com_ Pasca pengunduran diri ketua PDPM Trenggalek Trigus Dodik, terkadang dalam beberapa pertemuan kami diskusi atau debat tentang organisasi ini. Karena keputusannya mundur yang kemudian cukup membuat kaget banyak orang.
Dua hari yang lalu saya tiba- tiba dihubunginya, ternyata ia mengirim teks tulisan analisa dan wacana tentang perkaderan. Saya kemudian merangkumnya dan diberilah judul “Kader Muhammadiyah Sejati tidak boleh Tomak”.
Kader Muhammadiyah Sejati tidak boleh Tomak
Pernahkah kalian mendengar ini, sebuah kalimat yang mungkin pernah digaungkan oleh kader-kader Muhammadiyah, bunyinya seperti ini “kalau urusan repot diserahkan ke kader, kalau ada enaknya dikasih ke orang lain yang bukan kader”.
Sebenarnya jika didengarkan secara sekilas, kalimat seperti itu hanya ungkapan kejengkelan sesaat, atau sebuah ungkapan klise terkait kecemburuan sosial atas apa yang didapatkan orang lain, yang orang tersebut bukan kader Muhammadiyah akan tetapi mendapatkan porsi “enak” melebihi kader yang setiap saat selalu mau direpotkan oleh persyarikatan.
Konteksnya bisa macam-macam, misalnya begini, saat ada rekrutmen pekerjaan kontrak yang secara “rahasia” melibatkan nama besar organisasi, lantas yang berhasil mendapatkan kontrak tersebut bukan kader “direpotkan” tadi, melainkan orang lain yang bahkan kehadirannya di organisasi hanya saat ada rekrutmen tersebut. Sedangkan yang kader “direpotkan” tidak mendapatkan apa-apa, padahal sudah berusaha maksimal dan lobi-lobi.
Kondisi semacam ini bisa memicu kecemburuan sosial jika tidak direnungkan dengan baik, karena hal manusiawi ketika orang yang sudah berusaha lebih banyak menginginkan hasil lebih banyak juga, ketimbang yang tidak berbuat apa-apa. Sejauh ini saya menilai itu wajar jika konteksnya adalah ekonomi. Tetapi, menjadi tidak wajar ketika kita menyandingkannya dengan konteks dakwah untuk Islam.
Pikiran semacam itu pernah ada dijaman nabi Muhammad, yang tercatat dalam kisah perang Hunian, sejarah tentang kaum Ansor dalam pembagian ganimah (harta rampasan perang) yang bisa kita tarik pelajarannya dalam konteks menjadi kader Muhammadiyah yang tidak tomak.
Kisah itu bisa anda baca dalam kitab as-Sîratun Nabawiyah fi Dhau’il Mashâdiril Ashliyah.
Singkatnya, setelah kaum muslim menang dalam perang hunian, mereka mendapatkan ghanimah, harta rampasan perang ini lazimnya dibagi-bagikan kepada yang ikut berperang. Tetapi dalam pembagian tersebut, sebagian kamu anshor dari suku badui mempertanyakan keadilan pembagian ghanimah kepada Rasulullahanshar sampai berucap
Wahai Muhammad! Bersikap adillah!”
Kaum Anshor adalah kaum yang memberikan fasilitas dan service terbaik ketika Rasulullah melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah. Kecemburuan kaum anshar dari suku badui ini di tenggarai karena merasa merekalah yang paling berjasa dalam merumat Nabi Muhammad ketika di Madinah. Tapi dalam hal pembagian ghanimah, mereka hanya mendapatkan sedikit.
“Kader yang merumat Muhammadiyah dan selalu mau direpotkan malah mendapat sedikit bahkan tidak mendapat apa-apa” Kira-kira seperti itu padanan kalimatnya.
يَا مُحَمَّدُ، اعْدِلْ، فَقَالَ لَهُ الرَّسُوْلُ : وَيْلَكَ وَمَنْ يَعْدِلُ إِذَا لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ؟ لَقَدْ خِبْتُ وَخَسِرْتُ إِنْ لَمْ أَكُنْ أَعْدِلُ
“Wahai Muhammad! Bersikap adillah!” Rasulullah n bersabda, “Celaka kamu! Siapakah yang akan berbuat adil jika aku tidak berbuat adil?! Sungguh saya akan merugi jika saya tidak berbuat adil
Tapi pemikiran Nubuat selalu out of the box, tidak seperti pemikiran orang awam, apalagi jika dibandingkan kaum khawarij, sungguh tidak sepadan.
Kenapa Rasulullah memberikan lebih banyak harta rampasan perang kepada mereka yang baru masuk Islam, bukan kepada kaum yang menemaninya sewaktu susah?
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan kepada kaum Anshar secara khusus tentang latar belakang kebijaksanaan pembagian ghanîmah kala itu:
إِنِّي أُعْطِي قَوْمًا أَخَافُ ظَلَعَهُمْ وَجَزَعَهُمْ وَأَكِلُ أَقْوَامًا إِلَى مَا جَعَلَ اللَّهُ فِي قُلُوبِهِمْ مِنْ الْخَيْرِ وَالْغِنَى
Sesungguhnya aku memberikan ghanimah kepada kaum (orang-orang) yang saya khawatirkan hati mereka akan gelisah dan resah serta tidak memberikan sesuatu kepada orang-orang yang Allâh anugerahi kebaikan dan perasaan berkecukupan di hati mereka
Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
إِنِّي أُعْطِي رِجَالًا حَدِيثٌ عَهْدُهُمْ بِكُفْرٍ
Sesungguhnya aku memberikannya kepada orang-orang yang baru meninggalkan kekufuran
Penjelasan Rasulullah membuat kaum Anshor menangis, mereka baru memahami setelah dijelaskan oleh Nabi Muhammad secara langsung
إِلَى رِحَالِكُمْ؟ الْأَنْصَارُ شِعَارٌ وَالنَّاسُ دِثَارٌ، وَلَوْلَا الْهِجْرَةُ لَكُنْتُ امْرَأً مِنَ الْأَنْصَارِ،
Apakah kalian tidak rela orang-orang itu pergi dengan membawa kambing dan unta sementara kalian pergi dengan membawa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam ke rumah kalian? (Bagiku) kaum Anshar itu ibarat pakaian yang menempel di badan sementara orang-orang itu ibarat selimut. Seandainya bukan karena hijrah, tentu termasuk kaum Anshar.
Jadi apa pelajarannya?
Kisah ini menjelaskan secara gamblang kepada kita semua bahwa, merumat Muhammadiyah itu adalah jalan dakwah, jalan menuju syurga, ikhlas berjuang di dalamnya adalah wujud untuk menegakkan Islam. Sepatutnya keihlasan ini dipertahankan oleh kader kader yang selalu mau repot tadi, iklhas merumat Muhammadiyah adalah ikhlas berjuang dijalan kebenaran.
Maka jangan sampai keihlasan ini dikonversi menjadi pengharapan akan jabatan dan penghasilan. Akan sangat rugi, bagaimana mungkin tujuan surga dikonversi menjadi tujuan dunia hanya karena kita tidak tahu saja.
Cinta jabatan boleh, cinta harta boleh, tapi jika sudah diperbudak nafsu jabatan dan harta benda, jadinya beda. Jangan-jangan,selama ini, ikut repot di Muhammadiyah bukan karena niat tulus nerdakwah, melainkan mencari cuan dan jabatan sambil sesekali mengharap pujian. Jangan- jangan ada diantara kita yang jadi khawarij dalam berorganisasi. (TIMRED_TRIGUS DODIK)
Leave a Reply