Meski keberadaan Majelis Tarjih dan Tajdid (MTT) sebenarnya belum begitu diakrabi oleh warga dan simpatisan Muhammadiyah, tetapi ternyata Majelis ini menjadi perhatian serius dikalangan orang-orang yang berada di luar Muhammadiyah, termasuk dari kalangan tokoh umat yang merasa gerah terhadap gerakan Muhammadiyah dalam membangun peradaban umat islam ke depan.
Ada seorang tokoh yang mengatakan di hadapan jamaahnya bahwa Muhammadiyah pada masa Kyai Ahmad Dahlan sama seperti organisasi tradisional pada umumnya; sholat subuh pakai qunut, niat sholat pakai bacaan ushalli, tarawih 20 rokaat, sholat jum’at adzan dua kali dan sebagainya, tetapi setelah munculnya Majelis Tarjih, Muhammadiyah dianggap telah menyimpang dari pendahulunya.
Bahkan secara lebih intimidatif ada yang menyatakan bahwa perubahan-perubahan itu akibat dari pengaruh orang-orang Wahabi yang telah menguasai Majelis Tarjih dan Tajdid.
Melalui pernyataan tersebut seolah-olah yang bersangkutan ingin mengatakan bahwa rusaknya Muhammadiyah itu gara-gara adanya Majelis Tarjih dan Tajdid, atau gara-gara itu semua Muhammadiyah menjadi tersesat.
Meskipun ungkapan itu disampaikan secara intern dari kalangan jamaah mereka sendiri, tetapi tidak bisa dipungkiri perkembangan media sosial telah memperlihatkan kepada semua orang betapa paniknya para tokoh umat yang merasa gerah terhadap perkembangan Muhammadiyah yang idiologi keagamaannya telah terbingkai cukup rapi dalam fatwa-fatwa Majelis Tarjih yang terus menerus mengalami perkembangan.
Lantas bagaimana tanggapan kita terhadap komentar-komentar tersebut?
1. Usia Majelis Tarjih sudah hampir seabad dan dalam perjalanannya telah berhasil mengendalikan gerakan pembaharuan hingga berhasil membangun peradaban umat Islam hingga lolos melewati berbagai corak penguasa dan sistem yang ada di zamannya. Muhammadiyah menjadi satu-satunya gerakan pembaharuan Islam, dari sekian banyak gerakan pembaharuan yang ada, yang benar-benar bisa menunjukkan hasil yang nyata dan terus bergerak meski di tengah-tengah penggembosan yang luar biasa dari sesama umat yang merasa panik karena tidak mampu bersaing secara sehat.
2. Berbagai komen menyakitkan yang bersumber dari kepanikan tersebut tentu tidak perlu kita tanggapi secara berlebihan, melainkan harus kita ambil hikmahnya, yang di antaranya bahwa ternyata orang-orang yang tidak menyukai Muhammadiyah sudah lama memperhatikan bahwa letak kekuatan Muhammadiyah itu ada di Majelis Tarjih dan Tajdid, maka sangat ironis jika kita yang merasa sebagai bagian dari Muhammadiyah justru tidak tahu menahu terhadap keberadaan Majelis Tarjih dan Tajdid.
3. Bagi Majelis Tarjih dan Tajdid, inspirasi dalam membangun pencerahan umat itu bisa datang dari mana saja, selama itu bisa membawa perubahan ke arah yang lebih maslahah bagi kemajuan umat ke depan. Malahan ketika para muballigh mempekenalkan agama Islam ke nusantara, budaya-budaya Jawa yang Hindhuis pun dipandang penting untuk direkrut jika memang itu bisa membawa kepada tatanan yang lebih baik.
4. Muhammadiyah sangat berkeinginan agar perjuangan untuk memajukan umat ini tidak lagi diwarnai oleh rasa su’udzon yang terus-menerus terhadap sesama umat, melainkan harus bisa membangun kerjasama dengan semua pihak. Jika terpaksa harus bersaing, maka haruslah persaingan yang sehat lewat adu prestasi, bukan dengan cara penggembosan dan intimidasi, maupun memperlakukan kawan seperti lawan yang harus terus-menerus dimusuhi sebagaimana yang dlakukan oleh kafir Quraisy. Na’uudzu billah….
Oleh karena itu kritik yang bernada merendahkan Majelis Tarjih tersebut jika kita ibaratkan tembakan, maka tembakan itu langsung ditujukan kepada jantung pertahanan. Maka secara tidak langsung mereka memberitahu kita bahwa inilah kekuatan utama dari gerakan yang kita perjuangkan.
Oleh karena itu jika warga Muhammadiyah sendiri tidak mau merawat dan menjaga keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh Majelis Tarjih dan Tajdid, maka sama halnya dengan membiarkan jantung kita terus menerus menjadi sasaran tembakan orang lain.
Jika kritikan-kritikan tersebut menjadikan kita justru ikut-ikutan semakin tidak peduli terhadap fatwa-fatwa MTT, dan lebih memilih kepada fatwa-fatwa perorangan yang masih dipertanyakan obyektifitasnya, berarti telah membiarkan jantung kita semakin lemah, maka perjalanan kita akan oleng kehilangan keseimbangan, dan pada gilirannya mata pun menjadi kabur, tidak jelas jalan mana yang harus dilalui, dan arah mana yang harus dituju.
Yang perlu kita ingat adalah bahwa semakin ajaran Islam diterapkan, insya Allah umat Islam akan semakin maju. Akan tetapi jika terjadi sebaliknya, pasti ada yang belum tepat di dalam mengamalkan ajaran Islam. Persoalan inilah yang terus dikaji dan ditelaah oleh Majelis Tarjih guna menghasilkan rumusan yang tepat untuk diamalkan oleh masyarakat Islam, dengan dipelopori oleh segenap warga dan simpatisan Muhammadiyah. (SHOLEH SU’AIDI)
Leave a Reply