Maulid Nabi merupakan tradisi peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW yang telah lama menjadi bagian dari kebudayaan Islam, terutama di lingkungan masyarakat desa. Namun, tradisi ini jarang dilakukan oleh warga Muhammadiyah, yang cenderung lebih mengedepankan pemurnian ajaran agama dan menekankan rasionalitas dalam dakwah. Kendati demikian, perlu dipertimbangkan bahwa tradisi ini, jika diadakan secara rutin, bisa menjadi sarana syiar dan dakwah yang efektif, terutama di kalangan masyarakat desa yang masih kuat dengan budaya tradisional.
Pentingnya Memahami Tradisi sebagai Media Dakwah
Budaya dan tradisi tidak selamanya harus dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai Muhammadiyah. Justru, dalam konteks dakwah di masyarakat tradisional, tradisi seperti perayaan Maulid Nabi bisa menjadi media yang ampuh untuk memperkuat jalinan sosial dan mempermudah penyampaian pesan-pesan keagamaan. Dalam banyak kasus, tradisi ini juga berperan dalam memperkokoh hubungan antaranggota masyarakat, serta menjembatani komunikasi antara tokoh agama dengan jamaah.
Sebagai organisasi yang mengedepankan pembaruan dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan sosial, Muhammadiyah juga memiliki tanggung jawab untuk menjaga keberagaman metode dakwah agar tetap relevan di tengah masyarakat. Pendekatan dakwah yang kering dan terlalu formal sering kali gagal menarik minat masyarakat desa yang terbiasa dengan ritual dan perayaan sebagai bagian dari kehidupan beragama mereka.
Peran Pimpinan Ranting dan Cabang Muhammadiyah
Pimpinan Ranting dan Cabang Muhammadiyah di berbagai daerah perlu mengambil langkah progresif dalam memanfaatkan tradisi seperti Maulid Nabi sebagai sarana dakwah. Hal ini bukan hanya untuk melestarikan tradisi, tetapi juga untuk memastikan bahwa dakwah Muhammadiyah tetap dekat dengan hati masyarakat desa. Peringatan Maulid dapat dimanfaatkan untuk mengemas pesan-pesan Islam yang mencerahkan dengan cara yang lebih inklusif, tanpa menghilangkan esensi ajaran yang benar.
Muhammadiyah di tingkat Cabang dan Ranting bisa belajar dari pengalaman di berbagai tempat, di mana banyak masjid dan musala menjadi sepi karena keringnya media dakwah yang tidak lagi sesuai dengan kebutuhan spiritual masyarakat setempat. Dalam konteks ini, inovasi dalam bentuk perayaan-perayaan yang bersumber dari kebudayaan lokal namun tetap berlandaskan syariat dapat menjadi solusi.
Kader Muda Muhammadiyah sebagai Penggerak
Gerakan ini dapat diawali oleh para kader muda Muhammadiyah yang memiliki pandangan luas dan fleksibilitas dalam memahami perkembangan dakwah. Para kader perlu melihat budaya dan tradisi sebagai peluang, bukan ancaman. Dakwah yang memperhitungkan konteks budaya masyarakat desa, dengan tetap berpegang pada prinsip-prinsip Islam yang murni, akan lebih mudah diterima dan bahkan diperluas jangkauannya.
Oleh karena itu, generasi muda Muhammadiyah perlu didorong untuk mengembangkan kreativitas dalam menciptakan media-media dakwah yang lebih beragam. Perayaan Maulid Nabi, misalnya, dapat dikemas dengan cara yang lebih mendidik, menyisipkan nilai-nilai keislaman yang mendalam, dan menjadi sarana silaturahmi yang memperkuat ikatan sosial di antara masyarakat.
Penutup
Tradisi seperti Maulid Nabi seharusnya tidak dipandang sebagai sesuatu yang bertentangan dengan semangat Muhammadiyah, melainkan sebagai bagian dari strategi dakwah yang kontekstual dan efektif di lingkungan masyarakat desa. Dengan memadukan nilai-nilai keislaman yang murni dengan pendekatan budaya yang ada, Muhammadiyah dapat memperkuat posisinya sebagai organisasi dakwah yang relevan di semua lapisan masyarakat, khususnya di pedesaan.
Para pimpinan Muhammadiyah di tingkat Ranting dan Cabang perlu mengajak kader-kader muda untuk berperan aktif dalam menghidupkan tradisi sebagai media dakwah yang lebih humanis, inklusif, dan efektif. (TIMRED-TAUFIK PCPM WATULIMO)