Diengah kesibukan bulan Syawal, tiga kader MPK PDM Trenggalek—Kamas Tantowi, Ahmad Nur Kholiq dan Hamzah N Aziz—menyempatkan diri mengikuti pelatihan instruktur di Universitas Muhammadiyah (UM) Ponorogo (18-20 April). Bagi mereka, ini bukan sekadar pelatihan biasa, tapi bagian dari journey panjang menjadi sosok yang tak hanya paham teori perkaderan, tapi juga siap jadi mentor, teman diskusi, sekaligus regulator di sistem yang kerap dianggap “ribet” ini.
Memang, tak banyak kader yang betah berlama-lama di dunia perkaderan. Jangankan jadi pengatur sistem, menjadi pendamping saja butuh kesabaran ekstra. Tapi ketiga kader ini membuktikan bahwa merawat kader bisa dilakukan dan dipelajari, bahkan menyenangkan. Apalagi ketika ada sosok seperti Kamas Tantowi, guru MTsN Munjungan saya menjuluki “Bapak Perkaderan MPK” Trenggalek.

Bapak yang Tak Pernah Lelah Ngemong
Julukan “Bapak Perkaderan” untuk Kamas bukan sekadar ungkapan berlebihan. Pria ini dikenal njlimet dalam merawat kader. Dari hal sepele seperti menelepon anggota MPK hanya untuk menyapa, sampai mengingatkan jadwal pelatihan dengan telpon singkat (kurang dari 10 detik!).
Bisa dibilang kalau ada undangan pelatihan, Pak Kamas pasti ngelayoni kita. Bukan cuma lewat surat, tapi langsung telpon. Meski cuma bilang, ‘Besok ada acara, ya. Datang!’ itu sudah bikin kita nggak enak kalau mangkir.
Kalaupun ada kader yang mau ikut pelatihan, untuk ” Merayu” Mereka ikut di panitia Kamas sering memberi modal awal untuk belanja atribut panitia, dan tiba-tiba atribut nya nyampek begitu saja, tanpa was wis wus kurang dana atau gimana.
Uniknya, Kamas tak pernah memosisikan diri sebagai “atasan”. Di grup WhatsApp majlis, ia bisa nimbrung obrolan serius tentang kurikulum Baitul Arqom, lalu tiba-tiba ikut guyon receh layaknya teman sebaya. Bagi penulis beliau, memimpin itu bukan soal jaga gengsi, tapi ngopeni dan menjaga suasana.
“Perkaderan Bukan Garansi Jadi Pejabat“
Salah satu pesan Kamas yang sering diingat kader adalah:
“Nggak ada jaminan setelah Baitul Arqom langsung jadi pejabat atau waliyullah. Ini cuma sarana belajar. Kalau setelahnya ada yang jadi simpatisan, anggota, atau malah ketua pusat kayak Pak Haedar Nashir, itu tergantung diri masing-masing.”
Kalimat sederhana itu menggambarkan filosofinya: perkaderan bukan pabrik pencetak pemimpin, tapi ruang untuk tafaqquh fiddin (beribadah mendalami agama) dan membentuk karakter. Hasilnya? Biarlah waktu yang menjawab.
Lelah? Nggak Ada di Kamusnya
Meski sering “sendirian” mengurus MPK, Kamas tak pernah mengeluh. Saat diminta presentasi di forum wilayah, ia justru lebih suka menyoroti capaian ortom (organisasi otonom) atau AUM (Amal Usaha Muhammadiyah) ketimbang pamer kerja kerasnya. Bisa dibilang ia itu low profile-nya nggak ketulungan. Tapi kalau ada masalah, pasti njagong bareng kita cari solusi, dengan tiba-tiba ngasih undangan ketemu bareng.
Kini, di sela tugas sebagai guru, Kamas dan MPK sedang menyiapkan pelatihan khusus guru muda Muhammadiyah Trenggalek pada Mei 2025. Rencana ini lagi-lagi bukti bahwa semangatnya tak pernah padam.
Penutup: Merawat Kader dengan Kedai Kopi dan Telpon 10 Detik
Kisah Kamas Tantowi mengajarkan satu hal: perkaderan tak selalu soal kurikulum kaku atau target jumlah kader. Kadang, ia dimulai dari telpon singkat, obrolan receh di grup WhatsApp, atau kesediaan mendengar keluh kesah kader. Di era yang serba instan, cara-cara “ndeso” seperti inilah yang justru membuat kader merasa dihargai—bukan sekadar jadi angka dalam laporan. TAUFIK- INFOKOM